Selasa, 04 November 2014

Gerakan Islamisasi Nusantara



GERAKAN ISLAMISASI NUSANTARA

KATA PENGANTAR
            Puji dan syukur Tim Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatNya telah dilimpahkan kepada Tim Penulis sehingga Tim Penulis dapat menyelesaikan makalah “Gerakan Islamisasi Nusantara” yang merupakan salah satu tugas terstruktur Al Islam dan Kemuhammadiyahan pada semester lima.
            Dalam makalah ini kami membahas mengenai bagaimana gerakan islamisasi yang terjadi di nusantara yaitu Indonesia pada jaman awal masuknya Islam ke Indonesia sampai saat sekarang ini.
            Dalam menyelesaikan makalah ini, Tim Penulis telah abnyak mendapat bantuan dan masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini Tim Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1.      Bapak Prof., Dr., Tobroni, M.Si.
2.      Pihak-pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dalam waktu yang tepat.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian telah memberikan manfaat bagi Tim Penulis. Akhir kata Tim Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan saran yang bersifat membangun akan Tim Penulis terima dengan senang hati.


Malang, 14 Oktober 2014


                                                                                                                        Penulis



DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penelititan
D.    Manfaat Penelitian
BAB II PEMBAHASAN
A.    Teori-teori Islamisasi Nusantara
B.     Tahap-tahap Perkembangan Islam di Nusantara
C.     Corak Islam di Nusantara
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA
ii
iii

1
2
2
2

3
6
9

10
10
11





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejak awal masehi kawasan Asia Tenggara telah berfungsi sebagai jalur lintas perdagangan bagi kawasan sekitarnya, Asia Timur dan Asia Selatan. Dari kawasan Asia Selatan, hubungan pelayaran antarbenua terus berlanjut ke Barat sebelum akhirnya mencapai Eropa. Melalui jalur perdagangan ini, kawasan Asia tenggara pada abad-abad berikutnya, terutama pada abad ke-5 M menjadi lebih ramai dengan hadirnya para pedagang dan pelaut yang melintasi wilayah tersebut. Maka tak heran apabila waktu itu beberapa bandar di Asia Tenggara seperti Lamuri di Aceh dan Perlak di Aceh Timur, Kedah di Malaysia, Martavan dan Pegu di Myanmar, Ayuthia di Thailand dan Pandurangga di Vietnam, berubah fungsi menjadi bandar regional. Dampak dari komunikasi internasional ini adalah masuknya pengaruh tradisi besar ke kawasan Asia Tenggara, seperti Hindu-Budha (abad 1-5 M), Islam (abad ke-7-13 M), dan Eropa (abad 17 M) sejalan dengan kolonialisme di Indonesia dan Asia Tenggara umumnya (Ambary, 1998:53).
Khusus untuk Islam, perkenalannya dengan kawasan Asia Tenggara -meskipun dalam frekuensi yang tidak terlalu besar- dimulai sejak abad 1H/7M. Ini terjadi ketika para pedagang Muslim yang berlayar di kawasan ini singgah untuk beberapa waktu. Pengenalan Islam lebih intensif, khususnya di Semenanjung Melayu dan Nusantara, berlangsung beberapa abad kemudian. Bukti tertua peninggalan arkeologi Islam di Asia Tenggara adalah dua makam Muslim yang berangka tahun sekitar akhir abad ke-5 H/11M di dua tempat yang sebenarnya tidak berjauhan, di Padurangga (sekarang Panrang di Vietnam) dan Leran (Gresik Jawa Timur). Dilihat dari segi bahan yang dibuat, tampak makam ini bukan buatan lokal. Bahan dan tulisannya yang bergaya kufi memberi kesan kuat bahwa kedua batu nisan itu dibuat di Gujarat, India. Sejak saat itu Islam terus merasuk di kepulauan Nusantara. Dari Malaka, proses Islamisasi masuk ke daerah pesisir utara pulau Jawa. Di tahun 1478, kerajaan Majapahit dikalahkan oleh koalisi kerajaan-kerajaan Islam di bawah pimpinan Demak. Para penyebar agama Islam yang berasal dari Demak kemudian mengislamkan Banjarmasin di Kalimantan Selatan. Maluku menjadi wilayah Islam di tahun 1498. Orang-orang Makasar yang baru saja memeluk Islam, pada gilirannya  kemudian mengislamkan Bugis serta penduduk pulau Sumbawa dan Lombok. Bugis, setelah menerima Islam kemudian menyebarkannya ke Flores. Secara bertahap seluruh Jawa kemudian menerima Islam (Muzani, 1993:24-25).
B.     Rumusan Masalah
·         Bagaimana tahap-tahap perkembangan Islam di Nusantara?
·         Bagaimana proses-proses Islamisasi di Nusantara?
C.    Tujuan Penelitian
·         Mengetahui tahap-tahap perkembangan Islam di Nusantara.
·         Mengetahui proses-proses Islamisasi di Nusantara.
D.    Manfaat Penulisan
1.      Ada banyak manfaat dari pembuatan makalah gerakan Islamisasi Nusantara ini. Manfaat yang didapatkan antara lain : Melatih kemampuan mahasiswa untuk menyusun makalah sesuai dengan penyusunan yang baik dan benar.
2.      Selain bermanfaat bagi penulis, makalah ini juga bermanfaat bagi pembaca sebagai bahan referensi mengenai gerakan Islamisasi Nusantara.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teori Masuknya Islam ke Nusantara 

Kepastian kapan dan dari mana Islam masuk di Nusantara memang tidak ada kejelasan.  Setidaknya ada tiga teori yang mencoba menjelaskan tentang itu. Yaitu: Teori Gujarat, Teori Makkah, dan Teori Persia.

1.      Teori Gujarat

Teori ini merupakan teori tertua yang menjelaskan tentang masuknya Islam di Nusantara. Dinamakan Teori Gujarat, karena bertolak dari pandangannya yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara berasal dari Gujarat, pada abad ke-13 M, dan pelakunya adalah pedagang India Muslim. Ada dugaan  bahwa peletak dasar teori ini adalah Snouck Hurgronje, dalam bukunya L' Arabie et les Indes Neerlandaises atau Revue de l'Histoire des Religious. Snouck Hurgronje lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat berdasarkan pada: Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara. Kedua, adanya kenyataan hubungan dagang India-Indonesia yang telah lama terjalin. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera memberikan gambaran hubungan antara Sumatera dan Gujarat.

Sarjana lain yang mendukung teori ini adalah W.F. Stutterheim. Dalam bukunya De Islam en Zijn Komst In de Archipel, ia menyakini  bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 dengan daerah asal Gujarat di dasarkan pada: pertama, bukti batu nisan Sultan pertama Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik al-Shaleh yang wafat pada 1297. Sutterheim menjelaskan bahwa relif nisan tersebut bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat. Kedua, adanya kenyataan bahwa agama Islam disebarkan melalui jalan dagang antara Indonesia-Cambai (Gujarat)-Timur Tengah-Eropa.


2.    Teori Makkah

Teori ini dicetuskan oleh Hamka dalam pidatonya pada Dies Natalis PTAIN ke-8 di Yogyakarta (1958), sebagai antitesis -untuk tidak mengatakan sebagai koreksi- teori sebelumnya, yakni teori Gujarat. Di sini Hamka menolak pandangan yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 dan berasal dari Gujarat. Selanjutnya Hamka dalam Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di Indonesia (1963) lebih menguatkan teorinya dengan mendasarkan pandangannya pada peranan bangsa Arab sebagai pembawa agama Islam ke Indonesia, kemudian diikuti oleh orang Persia dan Gujarat. Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah semata, dan Makkah sebagai pusat, atau Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran Islam.

Hamka menolak pendapat yang mengatakan bahwa Islam baru masuk pada abad 13, karena kenyataanya di Nusantara pada abad itu telah berdiri suatu kekuatan politik Islam, maka sudah tentu Islam masuk jauh sebelumnya yakni abad ke-7 Masehi  atau pada abad pertama Hijriyah.      

Argumentasi Hamka ini tidak lepas dari kritik, diantaranya ialah adanya kesulitan dalam membedakan antara ajaran Syi'ah dengan madzhab Syafi'i. Juga adanya kenyataan peninggalan upacara Syi'ah dalam masyarakat Indonesia seperti, peringatan 10 Muharram atau Asyura dan Tabut Hasan Husain. Cara membaca al-Qur`an pun mempunyai kesamaan dengan Persia dari pada Arab.

Menanggapi kritikan di atas, Hamka mengingatkan kembali tentang sikap umat Islam Indonesia yang menyukai sejarah Hasan Husain, dan juga menampakkan kecintaan yang dalam terhadap keluarga Nabi Muhammad, tetapi hal itu tidak berarti menganut paham Syi'ah. Selain itu, Hamka juga mengakui adanya peninggalan ajaran Syi'ah di Indonesia, tetapi ia menolak dengan keras usaha sementara sarjana -terutama para orientalis- yang mencoba memberikan informasi sejarah yang bertujuan memisahkan Islam Indonesia dengan Makkah dan Arab dengan bahasa Arabnya.  



3.      Teori Persia

Pencetus teori ini adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat. Teori ini berpendapat bahwa agama Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Persia, singgah ke Gujarat, sedangkan waktunya  sekitar abad ke-13. Nampaknya fokus Pandangan teori ini berbeda dengan teori Gujarat dan Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta Madzhab Syafi'i-nya. Teori yang terakhir ini lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan memiliki persamaan dengan Persia (Morgan, 1963:139-140). Di antaranya adalah:

Pertama, Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringayan Syi'ah atas syahidnya Husein. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husein. Di Sumatera Tengah sebelah barat disebut bulan Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda Husein untuk dilemparkan ke sungai. Keranda tersebut disebut tabut diambil dari bahasa arab.

Kedua, adanya kesamaan ajaran antara Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran alHallaj, sekalipun al-Hallaj telah meninggal pada 310H / 922M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syeikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke16 dapat mempelajarinya.

Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tandatanda bunyi harakat dalam pengajian al-Qur`an tingkat awal. Keempat, nisan pada makam Malik Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan muthlak dengan teori Gujarat.

Kritikan untuk teori Persia ini dilontarkan oleh K.H. Saifuddin Zuhri. Ia menyatakan sukar untuk menerima pendapat tentang kedatangan Islam ke Nusantara berasal dari Persia. Alasannya bila kita berpedoman pada masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-7, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umayyah. Saat itu kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan berada di tangan bangsa Arab, sedangkan pusat pergerakan Islam berkisar di Makkah, Madinah, Damaskus dan Bagdad, jadi belum mungkin Persia menduduki kepemimpinan dunia Islam (Zuhri, 1979:188).

B.    Tahap-tahap Perkembangan Islam di Nusantara
1.      Proses Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Indonesia
Sejarah mencatat bahwa kaum pedagang memegang peranan penting dalam persebaran agama dan kebudayaan Islam. Letak yang strategis menyebabkan timbulnya Bandar-bandar pedagang yang turut membantu mempercepat persebaran tersebut. Disamping itu cara lain yang trurt berperan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara ialah melalui dakwah yang dilakukan oleh para mubaligh.
2.      Penyebaran Islam Melalui Peranan Kaum Pedagang
Proses islamisasi di nusantara berawal dari datangnya para pedagang, karena jiwa yang dimiliki umat islam khususnya bangsa arab sejak zaman sebelum islam dan didukung semangat menyebarkan islam merupakan jihad yang mendorong umat islam terlibat dalam dunia perdagangan. Sambil berdagang mereka memiliki kewajiban menyebarkan ajaran islam yang dibawa oleh Muhammad SAW.
Nusantara yang merupakan jalur perdagangan Internasional sejak abad pertama masehi membuat pedagang-pedagang muslim (Arab, Persia, India) turut ambil bagian dalam perdagangan. Mereka mendatangi pusat-pusat perniagaan di daerah pesisir. Mereka tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama untuk berdagang sambal memperkenalkan budaya, adat istiadat bahkan agama. Bukan hanya dengan perdagangan tapi juga dengan asimilasi dan perkawinan. Setelah itu penduduk setempat yang telah memeluk islam memperkenalkan ke familinya, Dan akhirnya islam mulai berkembang di masyarakat.
3.      Penyebaran Islam Melalui Peranan Bandar-Bandar di Indonesia
Bandar merupakan tempat berlabuh atau bersinggahnya kapal-kapal pedagang, bahkan juga sebagai tempat tinggal para pengusaha perkapalan. Di Bandar inilah para pedagang yang beragama Islam memperkenalkan Islam kepada masyarakat sekitar.
Dalam perkembangannya, Bandar-bandar tersebut umumnya tumbuh menjadi kota bahkan ada yang menjadi kerajaan, seperti Perlak, Samudera Pasai, Palembang, Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banjarmasin, Gowa, Tidore, dan Ternate.
4.      Penyebaran Islam Melalui Perkawinan
Para pedagang selain melakukan kegiatan perniagaan dengan warga pribumi mereka juga melakukan perkawinan karena perdagangan internasional membutuhkan waktu yang lama, sebagai manusia normal tentu membutuhkan teman hidup. Puteri-putri bangsawan banyak yang tertarik untuk menjadi isteri saudagar-saudagar itu.
Sebelum menikah mereka wajib diislamkan dahulu karena itu merupakan hal yang wajib bagi para warga pribumi jika ingin diperisteri oleh pedagang islam. Setelah perkawinan mereka memiliki keturunan, maka lingkunganpun semakin meluas, Akhirnya dalam waktu yang lama terbentuklah perkampungan, daerah-daerah dan pada akhirnya terbentuklah kerajaan-kerajaan islam.
5.      Penyebaran Islam Melalui peran Para Wali dan Ulama
Salah satu cara penyebaran islam yaitu melalui jalur dakwah. Disamping sebagai pedagang, para pedagang muslim juga berperan sebagi mubaligh. Para mubaligh mendatangi masyarakat sebagai objek dakwah, dengan menggunakan pendekatan social budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggubakan budaya setempat dengan disisipi ajaran islam didalamnya.
Di pualu Jawa sendiri penyebaran agama islam dilakukan oleh para walisongo. Peran wali Sanga dalam penyebaran Islam di Indonesia, terutama di Jawa nampaknya tidak dapat di sangkal lagi. Besarnya jasa mereka dalam mengislamkan tanah Jawa telah menjadi catatan yang masyhur dalam kesadaran masyarakat Islam Jawa. Ada yang menganggap  “Walisongo”-lah perintis awal gerakan dakwah Islam di Indonesia. Karena jika dilihat pada fase sebelumnya, islamisasi di Nusantara lebih dilaksanakan oleh orang perorangan tanpa manajemen organisasi. Tetapi dalam kasus Walisanga ini, aspek manajemen keorganisasian telah mereka fungsikan. Yakni, mereka dengan sengaja menempatkan  diri dalam satu kesatuan organisasi dakwah yang diatur secara rasional, sistematis, harmonis, tertentu dan kontinue serta menggunakan strategi, methode dan fasilitas dakwah yang betul-betul efektif.
6.      Penyebaran Islam melalui Pondok Pesantren
Sejak awal perkembangan Islam, pendidikan mendapat prioritas utama masyarakat Islam. Pendidikan Islam dilaksanakan secara informal. Setiap ada kesempatan mereka memberikan pendidikan dan pengajaran tentan islam, dengan perbuatan berupa contoh dan suri tauladan sehingga masyarakat menghormati dan tertarik dengan islam.
Langgar atau Surau menjadi tempat islamisasi dengan mengenal dan membaca Al-Quran yang diajarkan oleh guru ngaji tanpa dibayar dan dipungut biaya. Pondok Pesantren bermula dari rumah kecil yang terletak disekitar masjid, lalu berkembang menjadi suatu sistim pendidikan yang memiliki beberapa elemen, yaitu Pondok, Mesjid, Pengajaran Kitab Klasik, Santri dan Kiyai.
7.      Penyebaran Agama Islam melalui Tasawuf
Penyebaran islam melalui tasawuf merupakan cara yang sangat efektif unuk menarik pribumi masuk ke dalam agama islam, para sufi atau pengajar-pengajar tasawuf mengajarkan Teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam hal-hal magis dan mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan. Di antara mereka juga mengawini putri-putri bangsawan setempat.
Dengan tasawuf “bentuk” islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai kesamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Diantara para ahli tasawuf yang memiliki ajaran yang memiliki ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia Pra-Islam adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syekh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa.
8.      Penyebaran Islam melalui Kesenian
Para ulama kyai maupun para sunan berusaha agar islam mudah diterima dengan berbagai metode, di antaranya adalah melalui kesenian, karena merupakan hiburan bagi masyarakat pada zamannya sehingga kesenian ini memiliki daya Tarik yang sangat besar bagi kaum pribumi yang fungsinya adalah menghibur sekaligus mengajak orang-orang yang menganut agama lama untuk memeluk agama islam.
Karena perbedaan yang mencolok antara islam dengan Hindu dan Budha yang dianggap diskriminatif, islam dating dengan memberi rahmat bagi penduduk pribumi. Salah satu kesenian yang digunakan dalam penyebaran islam di Indonesia yaitu wayang, oleh Sunan Kali Jaga.
9.      Penyebaran Islam melalui Kekuasaan (Politik)
Kekuasaan politik pada suatu masyarakat sangat menentukan perkembangan agama islam karena dengan kekuasaan inila perkembangan islam mendapat dukungan dari para penguasa tanpa adanya hambatan bahkan justru mendapat angina segar dalam penyebarannya dan merupakan factor yang sangat penting dalam proses islamisasi dalam masyarakat.


C.    Corak Islam di Indonesia
Islam di Indonesia pada dasarnya memiliki corak dan karakter yang beragam, baik dari sisi pemikiran maupun gerakan, Keragaman ini tercermin dari jumlah organisasi keislaman dan kelompok kepentingan atas nama Islam yang dari waktu ke waktu semakin bervariasi.
Dari sisi gerakan dan organisasi massa, ada Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dll. Dalam organisasi kepemudaan dikenal IMM, HMI, KAMMI, dll. Sedangkan dalam kelompok kepentingan dikenal seperti FPI, Hizbut Tahrir, dll. Sampai dalam partai politik ada PBB, PPP, PKB, dll.
Berbagai varian organanisasi maupun kelompok kepentingan tidak jarang mengalami gesekan maupun ketegangan. Berbagai faktor muncul sebagai penyebab dari adanya pergesekan ini seperti perebutan kekuasaan politik dan ekonomi.
Varian-varian baru Muslim yang muncul sebagai akibat dari respons berbeda terhadap modernisasi terjadi di Indonesia. Indonesia acap kali disebut Negara secular dan bukan pula “Negara agama”. Posisi yang seperti itu memeberikan peluang terjadinya pergulatan di kalangan Muslim dalam mendefinisikan universalisme agama dan hal tersebut didukung bahwa Indonesia ini merupakan Negara yang sangat plural dan multikultural.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Berbagai teori mengenai masuknya Islam ke Nusantara dikemukakan dengan keunggulan dan kelemahan masing-masing. Teori terkuat sampai saat ini ada 3 yaitu Teori Gujarat, Teori Makkah, dan Teori Persia.
2.      Perkembangan Islam di Nusantara mengalami tahap-tahap secara berkala dengan pedagang memegang peranan penting dalam masuknya Islam ke Nusantara dikarenakan letak Nusantara sebagai jalur perdagangan.
3.      Tahap-tahap perkembangan Islam di Nusantara mengalami kemajuan dengan berbagai pihak yang setia menyebarkannya antara lain Wali Songo dengan dakwahnya yang bervariasi dan menerapkan akulturasi budaya sebagai jalan dakwanya.
4.      Seiring berkembangnya modernisasi, Islam juga mengalami pergeseran menuju era modern ditandai dengan munculnya variasi-variasi gerakan maupun kelompok kepentingan yang mengatas namakan Islam yang sering kali mengalami pergesekan demi kepentingan pribadi maupun kelompok.
5.      Gerakan Islamisasi di Nusantara masih berlanjut sampai sekarang untuk memurnikan ajaran Islam yang dipelopori oleh Muhammadiyah dengan dahwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dengan Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber utama dan pertama yang menjadi rujukan Agama Islam.
B.    Saran
1.      Gerakan Islamisasi di Nusantara selaknya terus diperjuangkan untuk mengembalikan Islam yang seungguhnya dengan dasar utama yaitu Al-Qur’an dan As-sunnah.
2.      Munculnya kelompok kepentingan maupun organisasi yang bervariasi dengan mengatas namakan Islam selayaknya bukan memperlemah kedudukan Islam namun harusnya malah bisa memperkuatnya dengan mengurangi berbagai gesekan maupun benturan antar organisasi atau kelompok kepentingan tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
Amien, Saiful. 2012. Al-Islam Kemuhammadiyahan. Malang: UMM Press.

3 komentar: